Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung
Pengantar
Setiap manusia ditanamkan rasa takut akan sesuatu hal sehingga menyebabkan pola perilaku berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri. Takut menurut bahasa memiliki beberapa arti yakni : 1). merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, 2). Takwa, segan dan hormat, 3).tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), 4). Gelisah, khawatir.
Dalam perspektif psikologis, rasa takut merupakan bagian dari kecemasan. Atkinson memberikan pengertian kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengertian tersebut, karakteristik rasa takut memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.
Dalam kaitannya dengan profesi hakim maka terdapat titik singgung antara rasa takut dengan kemandirian hakim (independence of the judiciary) pada saat memeriksa dan memutus perkara dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum rasa takut tidak dapat dideteksi secara langsung dari diri hakim karena terletak pada alam pikir, namun melalui observasi dan pengalaman dalam praktik peradilan, beberapa hal berikut ini dapat dikualifisir sebagai bentuk rasa takut yang berpotensi menggerus kemandirian hakim.
Rasa Takut dan Kemandirian Hakim
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diatur bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas (independent) dan tidak memihak (imparsial). Pada hakikatnya, peradilan yang bebas berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh dan campur tangan pihak lain. Kewenangan hakim tidak memihak lebih ditujukan kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan imparsial berkaitan dengan nilai-nilai prosedur.[1]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan kemandirian hakim di dalam ketentuan Pasal 3 (1) yakni “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.[2]
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud sila pertama pada Pancasila yang diakomodir di dalam ketentuan Pasal 2 (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN
[1] M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung : Alumni, 2012), hal.139.
[2] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, Pembukaan, hal.3.
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Melalui amanat tersebut maka pertanggungjawaban tugas hakim pada saat memeriksa dan memutus perkara dilakukan berlandaskan prinsip umum keyakinan beragama yang mestinya dapat menguatkan konsistensi, integritas dan keberanian hakim mewujudkan keadilan.
Jaminan keamanan merupakan salah satu penyebab munculnya rasa takut hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam sejumlah peristiwa, hakim menerima perlakuan yang mengancam keselamatan sehingga menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan lain sebagainya padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) mengatur bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”.
Ada dua frasa yang perlu dikritisi di dalam rumusan pasal tersebut yakni kewajiban negara memberikan jaminan keamanan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat[1] sedangkan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara adalah pemerintah.
Jaminan keamanan hakim oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum yang berwenang dilakukan melalui koordinasi antara pengadilan dengan pihak kepolisian merujuk pada mekanisme umum yang berlaku pada instansi lain sedangkan dalam penanganan perkara terorisme, jaminan keamanan diatur tersendiri dalam Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor
[1] Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 120.
2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Pelindungan Bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
Jaminan keamanan hakim juga memiliki hubungan dengan kewajiban menjaga wibawa peradilan sebagaimana maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".
Untuk saat ini, hendaknya pengadilan memastikan koordinasi dengan pihak keamanan terkait dilakukan dengan optimal dan menjalankan protokol keamanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan untuk menghindari berbagai kemungkinan munculnya ancaman keamanan dan keselamatan sehingga para hakim yang bersidang terhindar dari rasa takut terhadap jaminan keamanan pada saat memeriksa dan memutus perkara. Namun dimasa depan, perlu ditelaah lebih lanjut dukungan pemerintah terhadap lahirnya Undang-Undang Contempt of Court maupun bentuk jaminan pengamanan melekat lainnya dari pihak yang berwenang termasuk penguatan pengamanan internal dari organ khusus yang ada disetiap pengadilan.
Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah opini publik. Secara etimologi opini publik adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu public opinion. Sementara public opinion berasal dari bahasa latin yaitu opinari dan publicus. Opinari mempunyai arti fikir atau menduga sedangkan publicus artinya adalah milik masyarakat luas. Berdasarkan makna secara etimologi tersebut maka opini publik adalah pendapat mayoritas masyarakat mengenai suatu informasi tertentu yang diperbincangkan.
Pembentukan opini publik terhadap perkara yang sedang ditangani menuntut hakim yang memeriksa perkara mempertahankan kemandirianya dengan mengesampingkan rasa takut terhadap perbedaan penilaian hakim dengan opini publik. Misalnya opini publik menganggap seorang terdakwa di persidangan sebagai pelaku kejahatan sedangkan hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dipersidangan maka hakim dituntut menghilangkan rasa takut terhadap komentar negatif masyarakat terhadap putusan bebas yang akan dijatuhkan.
Sudah menjadi resiko profesi hakim untuk dikomentari, dibully, dan bahkan dilaporkan kepada Badan Pengawasan, Komisi Yudisial, Ombudsman maupun kepada pihak-pihak lainnya. Lantas menjadi ragukah hakim atas putusan yang telah dijatuhkan ? Bila keragu-raguan itu ada maka sesungguhnya kemandirian hakim telah terbelenggu oleh opini publik. Konsep pandangan di atas menunjukkan rasa takut dapat mempengaruhi kemandirian hakim dalam proses pemeriksaan persidangan dan pasca persidangan. Dalam menghadapi keadaan semacam ini, hakim hendaknya berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim butir 6 yakni bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah pengawasan. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial namun pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[1]
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya, diatur pengertian Pengawasan dan Pembinaan atasan langsung adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap pejabat pemangku jabatan struktural untuk membina dan mengendalikan secara terus menerus bawahan yang berada langsung di bawahnya untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien serta berperilaku sesuai dengan kode etik aparat peradilan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pejabat struktural dalam rangka mengawasi penanganan perkara oleh hakim dilarang mengancam pemberian sanksi, apabila hakim tidak menggunakan sumber hukum tertentu di dalam pertimbangan putusannya atau apabila hakim tidak menuruti kehendaknya terhadap suatu perkara yang sedang ditangani dengan alasan menjalin hubungan baik pengadilan dengan pihak tertentu. Hal ini menyebabkan konsep relasi kuasa dalam perkara pidana maupun perdata dapat ditarik muatannya ke ranah administratif peradilan yang mengekang kemandirian hakim, padahal jelas dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa alasan dan dasar putusan merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara.
Ketakutan terhadap pengawasan dapat juga menjadi bumerang bagi rasa keadilan. Misalnya ketika Hakim akan memutus perkara pidana, penasihat hukum terdakwa membuat berbagai macam pengaduan yang sebenarnya ditujukan untuk memberi tekanan agar Hakim memutuskan pidana dengan
[1] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 dan Pasal 40.
[2] Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.
hukuman rendah maka ketika alur pikir tersebut menjadi alasan seorang terdakwa dihukum, pada saat itu ketakutan telah mengintervensi kemandirian. Hendaknya para hakim menganggap semua laporan/pengaduan sebagai suatu
hal yang biasa dalam menjalankan tugas-tugas yudisial sepanjang proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undang dan menerapkan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim dengan sebaik-baiknya namun Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial juga mesti memperlakukan para hakim yang dilaporkan/diadukan dengan hormat serta menjunjung tinggi Kemandirian Hakim.
Pengertian takut yang kedua sebagaimana termuat pada pengantar di atas adalah takwa. Pada hakikatnya setiap orang yang beriman, dituntut takut melanggar perintah dalam agama yang menghendaki kehidupan dijalankan dengan ideal dengan tujuan menciptakan keharmonisan. Konsep pengawasan oleh Tuhan adalah pengawasan tanpa batas mengingat kebesaranNya, sebagaimana disebutkan dalam Alquran At-Taghabun ayat (4) “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”.
Arti kata takut berikutnya adalah hormat. Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) diantaranya melalui keterbukaan informasi, digitalisasi sistem peradilan, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan banyak program lainnya yang kesemuanya dimaksudkan agar peradilan bermanfaat dan kepercayaan publik (public trust) meningkat.
Menghormati segala upaya yang telah dilakukan Mahkamah Agung dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan juga mestinya terpatri pada setiap hakim agar Visi Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung dapat terwujud, khususnya melalui pelayanan berkeadilan dan putusan yang memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian ketakutan terhadap pengawasan Tuhan dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan akan mengokohkan kemandirian.
Penutup
Rasa takut mengintervensi kemandirian hakim apabila hakim membiarkan rasa takut mempengaruhi hilangnya keadilan dalam proses persidangan maupun pada saat menjatuhkan putusan. Rasa takut mengokohkan kemandirian hakim apabila hakim melekatkan ketakutannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kekuasaannya dan menghindari sikap dan perbuatan yang dapat mencoreng nama baik peradilan. Seperti halnya prajurit yang bertempur dengan rasa takut kepada Tuhan dengan tujuan membela negaranya maka sekalipun gugur di medan pertempuran, sesungguhnya ia telah menang.
Referensi
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, Bandung, Alumni, 2012.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.
Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Kencana, 2012.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.